JIKA SAYA MENJADI PEWAWANCARA
Ketika membaca judulnya, saya merasa tertarik untuk membacanya sampai selesai. Kenapa saya tertarik? Pertama, karena dilihat dari judul yang dimunculkan begitu besar dengan huruf alfabet "Vaksin Bukan Ditolak tapi Dipertanyakan", menurut saya judul seperti itu membuat pembaca bertanya-tanya dan ingin membacanya sampai selesai. Kedua, karena kebetulan saya hanya mengetahui sepintas mengenai vaksin MR yang begitu ramai diperbincangkan di media sosial akibat vaksin tersebut belum memiliki sertifikat halal dari MUI. Entah kenapa pada saat itu saya tidak begitu tertarik untuk mengetahui hal tersebut, namun ketika saya diberikan tugas oleh dosen saya pada mata kuliah Teknik Wawancara, saya merasa ingin mencoba membacanya terlebih dahulu dan ada rasa keingintahuan yang berlebih. Bacaan tersebut sebenarnya merupakan laporan dari salah satu wartawan Tempo, atas nama Devy Ernis yang mewawancarai Anung Sugihantono selaku Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan.
Menganalisis bacaan tersebut dikaitkan dengan "jika saya menjadi pewawancara". Itu merupakan tugas yang diberikan oleh dosen saya. Maka, kali ini saya akan langsung masuk ke dalam topik yang akan dibahas dalam tulisan ini. Setelah saya membaca laporan hasil wawancara dari wartawan Tempo tersebut, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan oleh wartawan tersebut dan dari segi pertanyaan yang saya baca begitu sangat mendalam. Wartawan Tempo atas nama Devy Ernis ini sepertinya sebelum memulai wawancara kepada narasumber, ia telah menyiapkan pengetahuan mengenai vaksin MR terlebih dahulu, sehingga pertanyaan yang dilayangkan begitu mendalam dan spesifik. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan prepentif menjadi seorang wartawan atau seorang pewawancara sebelum mewawancarai narasumbernya.
Dari beberapa pertanyaan yang dilayangkan oleh Devy Ernis kepada Anung Sugihantono, menurut saya sudah cukup mewakili karena yang menjadi topik permasalahan dari vaksin MR yaitu pertama, kecemasan masyarakat dalam mengikuti imunisasi vaksin MR karena belum ada sertifikat halal dari MUI dan tindakan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan karena banyak masyarakat yang menilai kurangnya sosialisasi mengenai imunisasi vaksin MR dan tindakan reaktif dari Kementerian Kesehatan dalam meminimalisir kecemasan masyarakat akibat tidak adanya sertifikat halal dari MUI untuk vaksin tersebut. Topik permasalahan tersebut sudah cukup terangkum dalam beberapa pertanyaan yang dilayangkan oleh Devy Ernis, dimulai dari "Mengapa Kementerian Kesehatan baru mengurus status kehalalan vaksin measless-rubella belakangan?" hingga "Kritik dilayangkan kepada Kementerian Kesehatan, yang disebut lemah dalam mensosialisasikan imunisasi MR. Tanggapan anda?".
Namun, menurut saya ada beberapa pertanyaan yang kurang sesuai untuk dipertanyakan, dilihat dari susunan tata bahasa dan kata per kata yang digunakan oleh Devy Ernis selaku pewawancara. Contohnya yaitu, "Apa upaya Kementerian Kesehatan mengingat masih banyak wilayah di Aceh yang nihil imunisasi campak dan rubela?" Seharusnya pertanyaan tersebut tidak seperti itu karena makna 'nihil' disana dapat menimbulkan kesalahpahaman bagi narasumber yang menjadi objek wawancara. Mengingat kata 'nihil' memiliki makna 'tidak ada' atau 'kosong, padahal di daerah Aceh tidak sepenuhnya sistem imunisasi vaksin MR sama sekali tidak diterapkan atau dijalankan di setiap daerah hanya target yang tercapai masih tergolong rendah. Sebaiknya pertanyaan tersebut dibuat seperti ini, " Bagaimana upaya Kementerian Kesehatan untuk menanggapi penyebaran vaksin MR di daerah Aceh yang masih tergolong rendah?". Selanjutnya pertanyaan sebagai berikut, "Penolakan terhadap vaksin MR terjadi dimana saja?". Kata 'penolakan' disini dapat menimbulkan salah persepsi bagi narasumber maupun pembaca laporan hasil wawancara tersebut karena fakta di lapangannya, masyarakat bukan menolak untuk mengikuti imunisasi vaksin MR melainkan hanya ada kecemasan dan ketakutan bahwa vaksin yang digunakan haram karena tidak adanya sertifikat halal dari MUI. Seharusnya pertanyaan tersebut disusun seperti ini, "Masyarakat di daerah mana yang masih merasa khawatir dan takut untuk melakukan imunisasi vaksin MR karena isu belum memiliki sertifikat halal?".
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh Devy Ernis selaku wartawan dari Tempo, menurut saya sudah cukup mewakili dari topik permasalahan yang diangkat dimulai dari pertanyaan pertama hingga pertanyaan terakhir serta pertanyaan tersebut sesuai dengan ekspektasi dan rencana saya apabila berada di posisi wartawan Tempo, Devy Ernis karena pertanyaannya yang begitu mendalam dan sesuai dengan temuan fakta-fakta di lapangan. Dilihat dari pertanyaan, sang wartawan terlihat lebih prepare karena paham dengan isu tersebut dimulai dari perkembangannya dan tindakan reaktif dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Untuk beberapa pertanyaan yang kurang sesuai dilihat dari pemilihan kata-kata yang digunakan tidak terlalu menjadi hal yang fatal karena hal tersebut hanya perlu diperbaiki dari segi redaksi setiap pertanyaan dan selama narasumber paham mengenai maksud pertanyaan tersebut menuju ke arah yang diharapkan pewawancara, hal tersebut tidaklah menjadi sebuah permasalahan. Terimakasih. (RPL)
Komentar
Posting Komentar